Powered By Blogger

Minggu, 23 Januari 2022

Teori Penetrasi Sosial

 


Hi Guys, Welcome To My Blog :)
Kali ini, saya akan menjelaskan Hubungan Teori Penetrasi Sosial dengan Paradigma Epistemologi. Apakah ada hubungan nya teori ini dengan paradigma tersebut? yuk di simak!    

     Menurut buku West Tunner (2008) Teori Komunikasi, Teori Penetrasi Sosial dipopulerkan oleh Irwin Altman & Dalmas Taylor. Teori penetrasi sosial secara umum membahas tentang bagaimana proses komunikasi interpersonal. Di sini dijelaskan bagaimana dalam proses berhubungan dengan orang lain, terjadi berbagai proses gradual, di mana terjadi semacam proses adaptasi di antara keduanya, atau dalam bahasa Altman dan Taylor: penetrasi sosial.
     Altman dan Taylor (1973) membahas tentang bagaimana perkembangan kedekatan dalam suatu hubungan. Menurut mereka, pada dasarnya kita akan mampu untuk berdekatan dengan seseorang yang lain sejauh kita mampu melalui proses "gradual and orderly fashion from superficial to intimate levels of exchange as a function of both immediate and forecast outcomes." Altman dan Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang merah. Maksudnya adalah pada hakikatnya manusia memiliki beberapa layer atau lapisan kepribadian. Jika kita mengupas kulit terluar bawang, maka kita akan menemukan lapisan kulit yang lainnya. Begitu pula kepribadian manusia.


Beberapa Asumsi Teori Penetrasi Sosial yang terdapat di buku West Tunner, yaitu:
1) Hubungan-hubungan mengalami perkembangan kedekatan. Saat pertama kali bertemu seseorang,kita akan memiliki penilaian terhadap orang tersebut dan berinteraksi mengenai topik-topik yang ringan. Perkembangan hubungan cenderung maju dari titik yang tidak intim menjadi intim,tetapi terdapat juga hubungan yang tidak terletak di dua titik.
2) Perkembangan hubungan sistematis dan dapat diprediksi karena walaupun komunikasi bersifat dinamis,tetapi terdapat pola-pola yang dapay kita prediksi.
3) Perkembangan hubungan mencakup penarikan diri dan disolusi. Perkembangan hubungan tidak selalu maju tetapi juga mengalami pemunduran karena salah satu dari mereka menarik diri. Ini dapat terjadi karena episode-episode tidak selalu berjalan dengan baik atau dimaknai positif.
4) Pembukaan diri adalah inti dari perkembangan hubungan. Pembukaan diri adalah sikap kita mau terbuka dan mengatakan informasi penting tentang diri kita terhadap orang lain. Pembukaan diri dapat dilakukan secara terencana dan spontan,baik kepada orang dekat dan orang asing.

Dalam perspektif teori penetrasi sosial, Altman dan Taylor menjelaskan beberapa penjabaran sebagai berikut:
* Pertama, Kita lebih sering dan lebih cepat akrab dalam hal pertukaran pada lapisan terluar dari diri kita. Kita lebih mudah membicarakan atau ngobrol tentang hal-hal yang kurang penting dalam diri kita kepada orang lain, daripada membicarakan tentang hal-hal yang lebih bersifat pribadi dan personal. Semakin ke dalam kita berupaya melakukan penetrasi, maka lapisan kepribadian yang kita hadapi juga akan semakin tebal dan semakin sulit untuk ditembus. Semakin mencoba akrab ke dalam wilayah yang lebih pribadi, maka akan semakin sulit pula.
Kedua, keterbukaan-diri (self disclosure) bersifat resiprokal (timbal-balik), terutama pada tahap awal dalam suatu hubungan. Menurut teori ini, pada awal suatu hubungan kedua belah pihak biasanya akan saling antusias untuk membuka diri, dan keterbukaan ini bersifat timbal balik. Akan tetapi semakin dalam atau semakin masuk ke dalam wilayah yang pribadi, biasanya keterbukaan tersebut semakin berjalan lambat, tidak secepat pada tahap awal hubungan mereka. Dan juga semakin tidak bersifat timbal balik.
* Ketiga, penetrasi akan cepat di awal akan tetapi akan semakin berkurang ketika semakin masuk ke dalam lapisan yang makin dalam. Tidak ada istilah “langsung akrab”. Keakraban itu semuanya membutuhkan suatu proses yang panjang. Dan biasanya banyak dalam hubungan interpersonal yang mudah runtuh sebelum mencapai tahapan yang stabil. Pada dasarnya akan ada banyak faktor yang menyebabkan kestabilan suatu hubungan tersebut mudah runtuh, mudah goyah. Akan tetapi jika ternyata mampu untuk melewati tahapan ini, biasanya hubungan tersebut akan lebih stabil, lebih bermakna, dan lebih bertahan lama.
* Keempat, depenetrasi adalah proses yang bertahap dengan semakin memudar. Maksudnya adalah ketika suatu hubungan tidak berjalan lancar, maka keduanya akan berusaha semakin menjauh. Akan tetapi proses ini tidak bersifat eksplosif atau meledak secara sekaligus, tapi lebih bersifat bertahap. Semuanya bertahap, dan semakin memudar.

   Dalam teori penetrasi sosial, kedalaman suatu hubungan adalah penting. Tapi, keluasan ternyata juga sama pentingnya. Maksudnya adalah mungkin dalam beberapa hal tertentu yang bersifat pribadi kita bisa sangat terbuka kepada seseorang yang dekat dengan kita. Akan tetapi bukan berarti juga kita dapat membuka diri dalam hal pribadi yang lainnya. Mungkin kita bisa terbuka dalam urusan asmara, namun kita tidak dapat terbuka dalam urusan pengalaman di masa lalu. Atau yang lainnya.
   Altman dan Taylor merujuk kepada pemikiran John Thibaut dan Harold Kelley (1952) tentang konsep pertukaran sosial (social exchange). Menurut mereka dalam konsep pertukaran sosial, sejumlah hal yang penting antara lain adalah soal relational outcomes, relational satisfaction, dan relational stability.
   Thibaut dan Kelley menyatakan bahwa kita cenderung memperkirakan keuntungan apa yang akan kita dapatkan dalam suatu hubungan atau relasi dengan orang lain sebelum kita melakukan interaksi. Kita cenderung menghitung untung-rugi. Jika kita memperkirakan bahwa kita akan banyak mendapatkan keuntungan jika kita berhubungan dengan seseorang tersebut maka kita lebih mungkin untuk membina relasi lebih lanjut.
   Dalam masa-masa awal hubungan kita dengan seseorang biasanya kita melihat penampilan fisik atau tampilan luar dari orang tersebut, kesamaan latar belakang, dan banyaknya kesamaan atau kesamaan terhadap hal-hal yang disukai atau disenangi. Dan hal ini biasanya juga dianggap sebagai suatu “keuntungan”. Akan tetapi dalam suatu hubungan yang sudah sangat akrab seringkali kita bahkan sudah tidak mempermasalahkan mengenai beberapa perbedaan di antara kedua belah pihak, dan kita cenderung menghargai masing-masing perbedaan tersebut. Karena kalau kita sudah melihat bahwa ada banyak keuntungan yang kita dapatkan daripada kerugian dalam suatu hubungan, maka kita biasanya ingin mengetahui lebih banyak tentang diri orang tersebut.

Pengertian Paradigma Epistemologi
Menurut Dani Vardiansyah dalam buku Filsafat Ilmu Komunikasi (2008), paradigma adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Sedangkan epistemologi menurut Vardiansyah & Febriani (2017) merupakan cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, jenis, karakter dan sifat pengetahuan. Jadi, paradigma epistemologi merupakan suatu cara berpikir atau pandangan seseorang mengenai suatu ilmu pengetahuan yang ada di bumi ini.
Dalam Dani Vardiansyah (2008: 27-28) memberi uraian atas ketiga paradigma sebagai hasil “kesepakatan untuk tidak sepakat” dari para teoretisi komunikasi; dan karenanya akan menentukan “aliran” atau “mahzab” yang dianut:
  1. Paradigma-1: komunikasi harus terbatas pada pesan yang sengaja diarahkan seseorang dan diterima oleh orang lainnya. Paradigma ini menyatakan bahwa pesan harus disampaikan dengan sengaja dan pesan itu harus diterima. Artinya, untuk dapat terjadi komunikasi harus terdapat: (a) komunikator pengirim, (b) pesan itu sendiri, (c) komunikan penerima. Implikasinya, jika Universitas Sumatera Utara pesan itu tidak diterima, tidak ada komunikan karena tidak ada manusia yang menerima pesan. Jadi, tidak ada komunikasi dan proses komunikasi yang merupakan kajian paradigma ini. Misalnya, ketika seorang teman melambai pada Anda tapi Anda tidak melihat, ini bukan komunikasi yang menjadi kajiannya, karena Anda selaku komunikan tidak menerima pesan itu. Tidak ada komunikan tidak menerima pesan itu. Tidak ada komunikan dan karenanya tidak ada komunikasi dan proses komunikasi antara Anda dengan teman itu.
  2. Paradigma-2: komunikasi harus mencakup semua perilaku yang bermakna bagi penerma, apakah disengaja ataupun tidak disengaja. Paradigma ini menyatakan nahwa pesan tidak harus disampaikan dengan sengaja, tetapi harus diterima. Paradigma ini relatif tidak mengenal istilah komunikan penerima. Biasanya dalam penggambaran model, pada dua titik pelaku komunikasi dinamai sebagai komunikator mengingat bahwa keduanya punya peluang untuk menyampaikan pesan – disengaja atau tidak – yang dimaknai oleh pihak lainnya. Atau, keduanya disebut sebagai komunikan yang dimaknai sebagai semua manusia pelaku komunikasi. Intinya, selama ada pemaknaan pesan pada salah satu pihak adalah komunikasi yang menjadi kajiannya. Maka ketika Anda dengan tidak sengaja melenggang di tepi jalan dan sopir taksi berhenti serta bertanya, “Taksi, Pak?” ini adalah komunikasi yang menjadi kajiannya karena sopir itu telah memaknai lenggangan Anda yang tidak sengaja sebagai panggilan terhadapnya, tanpa terlalu mempersoalkan siapa pengirim dan penerima.
  3. Paradigma-3: komunikasi harus mencakup pesan-pesan yang disampaikan dengan sengaja, namun derajat kesengajaan sulit ditentukan. Paradigma ini menyatakan bahwa pesan harus disampaikan dengan sengaja, tetapi tidak mempersoalkan apakah pesan diterima atau tidak. Artinya, untuk dapat terjadi komunikasi harus ada: (a) komunikator pengirim, (b) pesan, (c) target komunikan penerima. Ketika seorang teman melambaikan tangan tapi Anda tidak melihat, ini sudah merupakan komunikasi yang menjadi kajiannya, pertanyaannya adalah mengapa pesan itu tidak Anda terima? Universitas Sumatera Utara Gangguan apa yang sedang terjadi pada salurannyakah? Pada alat penerima (mata Anda)? Atau ada hal lainnya?
Lalu, adakah hubungan antara teori penetrasi sosial dengan paradigma epistemologi ? jawabannya tentu saja ada. Berikut penjelasannya melalui beberapa tahapan :
  • Orientasi: membuka sedikit demi sedikit
         Merupakan tahapan awal dalam interaksi dan terjadi pada tingkat publik. Disini hanya sedikit dari kita yang terbuka untuk orang lain.
  • Pertukaran penjajakan afektif: munculnya diri
         Dalam tahap ini, merupakan perluasan area publik dari diri dan terjadi ketika aspek-aspek dari kepribadian seorang individu mulai muncul.
  • Pertukaran afektif: komitmen dan kenyamanan
         Ditandai dengan persahabatan yang dekat dan pasangan yang intim. Dalam tahap ini, termasuk interaksi yang lebih “tanpa beban dan santai”.
  • Pertukaran stabil: kejujuran total dan keintiman
        Tahap terakhir ini merupakan tahapan dimana berhubungan dengan pengungkapan pemikiran, perasaan dan perilaku secara terbuka yang mengakibatkan munculnya spontanitas dan keunikan hubungan yang tinggi.
     Teori ini juga tidak mengungkapkan persoalan gender dalam penjelasannya. Padahal perbedaan gender akan sangat berpengaruh kepada persoalan keterbukaan-diri dalam relasi interpersonal. Bahkan Altman dan Taylor mengungkapkan bahwa males are less open than females.
     Maka menurut teori ini, kunci dari suatu hubungan yang akan tetap terbina adalah sejauh mana suatu hubungan itu memberikan keuntungan, sejuah mana hubungan tersebut mampu menghasilkan kepuasan, sejauh mana hubungan tersebut tetap stabil, dan tidak adanya kemungkinan yang lain yang lebih menarik daripada hubungan yang sedang mereka jalani tersebut. Teori ini sendiri tidak terlepas dari sejumlah kritikan. Ada kritikan yang menyatakan bahwa seringkali cepat-lambatnya suatu hubungan tidak bersifat sengaja atau mampu diprediksikan sebelumnya. Ada kalanya ketika kita dengan terpaksa harus cepat mengakrabkan diri dengan seseorang tertentu, dan kita tidak memiliki pilihan yang lain.
   Kesimpulan menurut saya pribadi, Teori Penetrasi Sosial ini memang dapat dikaitkan dengan Paradigma Epistemologi. Karena memiliki cara pandang yang dapat mempengaruhi pola pikir, tingkah laku maupun sikap sesorang dalam menjalin sebuah hubungan yang dimana diperlukan adanya adaptasi terhadap diri dan lingkungan orang tersebut yang dapat mempengaruhinya. Dan apabila suatu hubungan yang terjalin tidak ada rasa ingin memiliki satu sama lain, serta tanpa adanya sifat kognitif, afektif, dan konatif hubungan yang terjalin tidak akan berjalan dengan baik maupun sesuai ekspetasi yang kita mau.




Sumber :

- Vardiansyah, Dani; Febriani, Erna, (2017). Filsafat Ilmu Komunikasi: Pengantar Ontologi 
  Epistemologi Aksiologi
. Penerbit Indeks
- West, Richard; Turner, Lynn H. (2008-Terjemahan Edisi 3). Pengantar Teori Komunikasi :
  Analisis dan Aplikasi.
 Penerbit Salemba Humanika
- Vardiansyah, Dani. (2008). Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Penerbit Indeks
- Morissan. (2013). Teori Komunikasi. Penerbit Ghalia Indonesia.